Mengupas Paradigma Tafsir
Islam adalah
agama berkebudayaan, beradab dan bergerak dengan kesadaran akal. Pada saat
agama-agama barat menentang nalar dan penyelidikan oleh akal, lalu memburu dan
membunuh Galileo Galilei karena mengatakan bumi ini berputar, pada saat yang
sama peradaban Islam justru berkeyakinan akan memahami alam dengan ilmu adalah
pilihan.(Natsir; 1954). Sungguh akan dipertanyakan jika beragama ternyata tidak
membuat seorang beradab dan berkebudayaan. Pertanyaan yang muncul akan berada
disekitar kesalahan interaksi agama dengan manusia ataukah interaksi manusia
dengan agama.
Sama apiknya apa
yang disajikan oleh Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag, sehingga penulis merasa tergerak
untuk merangkumnya ke dalam sebuah tulisan ringan. Meskipun dirasa masih kurang
lengkap refrensi dan materinya, sebab ini adalah polesan penulis dengan banyak
kekurangan sekaligus cuplikan karya beliau yang masih belum selesai tahap
penelitianya. Namun, tetap saja sebuah hal yang mengganggu pikiran ketika
beliau melontarkan pertanyaan bahwa kenapa sekarang masih saja muncul stigma-stigma
yang terkadang disandingkan kepada umat Islam−padahal sesungguhnya tidak pernah
diyakini menjadi kandungan falsafah Islam−seperti halnya stigma teroris,
diskriminatif, kekerasan, perpecahan dan lainya?, sebenarnya letak kesalahanya
di mana? pada presepsi terhadap agama ataukah penafsiran agama yang memicunya?.
Paradigma
Tafsir
Tak usah
jauh-jauh, belum lama ini telah nampak banyaknya perdebatan panjang terkait
beberapa isu tafsir yang bergulir layaknya bola salju. Tak ingin membahas content
tafsir ayat ataupun pendapat tentang keberpihakan, karena sudah banyak pakar
yang mumpuni untuk menjelaskan hal tersebut. Tetapi penulis menilai bahwa penting
untuk mengkaji tafsir dari Al-Quran—yang kemudian akan disingkat dengan sebutan
tafsir—dengan
berbagai paradigmanya. Setidaknya Dr. H. Hamim menjelaskan ada 6 paradigma
tafsir.
Pertama,
paradigma kompleksitas. Adalah kitab Al-Quran yang rumit, yang memerlukan
sebuah bantuan untuk memahaminya. Kerumitan tersebut meliputi perihal
melafalkanya, arti kata-katanya, dan ketentuanya yang berlaku bagi kata yang
berdiri sendiri ataupun yang tersusun dalam kalimat. Kedua, paradigma
kesusatraan yaitu mengemukakan pandangan bahwa Al-Quran merupakan kitab sastra
yang paling besar dan tafsir harus mengapresiasi keapikan sastra tersebut,
bahkan tidak ada yang bisa menandingi keindahan tatanan bahasanya. Sehingga
mengkajinya harus menyertai aspek-aspeknya yang lengkap serta keruntutan
sistematikanya. Ketiga, paradigma ekspalanasi, menyatakan bahwa Al-Quran
membutuhkan penjelasan yang diberikan sesuai kemampuan manusia. Menurut Abu
Hayan Al-Andalusi penjelasan tersebut harus meliputi perihal Al-Quran, petunjuk
pada maksudnya, dan sesuai kemampuan berpikir manusia.
Ke-empat, paradigma
petunjuk yaitu menyatakan Al-Quran adalah kitab yang memberi petunjuk kepada
manusia untuk menjalani hidup di dunia dan akhirat. Tetapi dalam memandang
sebagai petunjuk tersebut, beberapa tokoh berbeda pendapat, misalnya, Muhammad
Saltut menilainya sebagai petunjuk aqidah dan syariah, selain itu Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridho (sebagai jalan hidup bahagia), Taqiyyudin An-Nabhani (sebagai
agama dan hukum), Hasan Al-Bana (sebagai agama, aqidah dan bernegara), selanjutnya
Fazlur Rahman (sebagai jalan hidup bertauhid dan mewujudkan keadilan sosial).
Kelima,
paradigma reduksionis yaitu menyatakan pandangan bahwa Al-Quran merupakan
sumber legitimasi. Dikemukakan oleh Al-Karhi bahwa “tiap ayat atau hadist yang
menyalahi pendirian yang dianut tokoh-tokoh mazhab kamu, maka ayat tersebut
dinasakh atau ditakwil”. Dalam hal ini, takwil menyiratkan makna seperti
tafsir. Sehingga pada awalnya sebuah ayat adalah mengatur sebuah pandangan,
tetapi dalam perkembanganya lahir takwil/tafsir pendukung pandangan yang sudah
tereduksi, tafsir tersebut tak jarang tereduksi oleh pandangan yang sesuai;
kelompok, fiqih, ekonomi, bahkan politik. Sebagai contohnya Muktazilah dengan
pandangan bahwa manusia tidak bisa melihat Allah SWT baik di dunia maupun di
akhirat, maka mentakwilkan kata nadzhara dalam QS Al-Qiyamah: 22-23
dengan makna menunggu anugerah, padahal umumnya diartikan melihat.
Ke-enam,
paradigma rahmata lilalamiin yaitu menyatakan pandangan bahwa Al-Quran
merupakan ajaran yang memberikan nikmat kebaikan kepada yang dikasihi, sehingga
hukum Allah adalah menyegarkan kehidupan dan memberikan inspirasi dalam
menumbuhkan kehidupan. Hasilnya adalah umat beragama menjadi umat yang
berperadaban dan berkebudayaan.
Adakah
Disorentasi Paradigma?
Fakta bahwa
sebagian besar negara muslim—negara Islam atau memiliki penduduk
mayoritas muslim—justru
memiliki tingkat perpecahan internal yang tinggi adalah sulit dibantah. Irak,
Iran, Suriah, Afganistan, Lebanon dan belakangan Indonesia adalah sebagian
gambaranya. Hal ini menjadi pertanyaan besar, kenapa tangan-tangan muslim—di
negara tersebut—seperti
kehilangan cara untuk membawa kedamaian dan mudah sekali dipicu atau diadu?.
Padahal sangat
jelas Islam datang untuk rahmat semesta alam. Entah kesalahan praktik agama
ataukah sudah zamanya, hal ini menjadi polemik yang cukup pelik. Berujung pada prasangka
bahwa barangkali ada disorentasi pradigma tafsir. Mungkin saja Islam kehilangan
rahmatnya tersebab oleh tafsir yang meninggalkan paradigma rahmat dan lebih didominasi
oleh paradigma reduksionis. Sehingga tafsir-tafsirnya sudah terpengaruh oleh
kepentingan yang berbau kelompok, alasan ekonomi atau politik, hanya demi
legitimasi untuk melancarkan kepentinganya.
0 Response to "Mengupas Paradigma Tafsir"
Post a Comment