Toleransi dan Meruwat NKRI
“Semakin tinggi ilmu
seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya” (KH. Abdurrahman Wahid). Belakangan
ini bangsa Indonesia seperti hampir lepas kendali dari pelana toleransi. Bumbu-bumbu
emosional nampaknya telah tertabur−entah sengaja ataupun tidak−berpotensi memperkeruh tribulasi bangsa. Dan yang terlihat adalah semakin dalamnya
jurang pemisah perbedan pada kemajemukan Indonesia. Ironisnya adalah hal ini
tidak hanya muncul pada masyarakat awam, tetapi juga kalangan terdidik.
Namun bagaimanapun confuse-nya
kondisi masyarakat, hal itu tak boleh menyurutkan langkah-langkah stabilitas bangsa.
Di tengah-tengah isu yang memicu perpecahan grassroot publik dan
kekhawatiran terhadap devide et impera, akan selalu ada jalan untuk
meredamnya, seperti halnya Deklarasi Kebhinekaan yang dilakukan tokoh
masyarakat di sejumlah daerah sekarang ini. Upaya responsif seperti itu adalah hal
yang tak boleh hilang pada nadi keharmonisan, terlepas dari pemicunya adalah
propaganda ataukah fenomena fakta.
Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan
yang sudah tua, asal frasa dari bahasa Jawa Kuno, yang seringkali diterjemahkan
dengan kalimat “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat tersebut merupakan
kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma,
karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 dan dan
diyakini bahwa nilai luhurnya sudah tertanam sejak sebelum diukir dalam kakawin
tersebut. Kakawin ini istimewa sebab mengajarkan tolerasi antar
umat, sehingga jelas bahwa toleransi sudah menjadi falsafah bangsa sejak
Indonesia belum berbentuk negara.
Falsafah Toleransi
Sejak dahulu, sebenarnya perbedaan
adalah hal yang lumrah. Jika ditelusuri jejak sejarah, maka akan ditemukan
bahwa pada era kemerdekaan perbedaan gagasan tentang bangunan negara adalah hal
yang ramai diperdebatkan; dari Sosialis, Kapitalis, Federal State, National
State, Secular State, samapi Islamic State. Tak lepas pula dari dinamika perubahan
bentuk negara, dasar negara, sistem pemerintahan sampai iklim politik. Namun perbedaan tersebut justru
mendewasakan Indonesia pada saat itu, sehingga bertemu dalam satu titik−yang sampai sekarang masih diharapkan
solid−yaitu
NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia).
Disadari ataukah tidak,
toleransi adalah salah satu modal bangsa Indonesia merdeka, sebab sikap
penghargaan antar umat dan persapaan antar gagasan telah mensolidkan bangsa ini
mewujud pada NKRI.
Seiring berjalannya waktu, gagasan
toleransi sempat diperbaharui oleh KH Abdurrahman Wahid melalui berbagai
tindak-tanduk serta tulisan-tulisanya. Tokoh yang akrab disapa dengan panggil
Gus Dur adalah yang paling lantang−setidaknya menurut penulis−menyerukan toleransi, meskipun terkadang bias dan terplintir oleh
ketidakpahaman terhadap substansi dan sisi positif gagasan tersebut. Dan Gus
Dur tidak memfokuskan gagasanya terkait toleransi dalam satu karya saja, tetapi
lebih ke dalam tulisan-tulisan ringan merespon fenomena sosial.
Ada beberapa inti yang bisa
dipetik dari falsafah toleransi Gus Dur: pertama, tidak memaksakan
kehendak, sebab terkadang dalam berbeda pandangan, ada sebagaian yang sering
memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai
satu-satunya kebenaran, karenanya pandangan tersebut ingin dipaksakan kepada
orang lain. Dampaknya adalah perdebatan
yang berkepanjangan dan ketidaknyamanan dalam proses interaksi. Cara seperti ini oleh Gus Dur dinilai
sebagai tindakan irrasional, meskipun kandungan isinya sangat rasional. (Wahid; 2006)
Kedua, santun dalam interaksi, yaitu sikap saling
menghargai, menghormati dan rasa simpati terhadap sesama manusia. Tidak ada
kebencian dalam bergaul, dan bersikap egaliter terhadap sesama manusia.
Sehingga sesama manusia sebeda apapun dan seberagam apapun mereka, tetapi
mereka tetap dapat hidup berdampingan serta dapat hidup dengan penuh
keharmonisan sebagai sesama. (Wahid; 2006)
Ketiga, persaudaraan, berdasarkan QS Al-Anbiya
(21): 107, Gus Dur menilai bahwa ayat tersebut menjadi dasar Islam sebagai tali
penyambung persaudaraan sesama umat manusia, sehingga dalam praktiknya di Indonesia,
sesama umat Islam adalah saudara se-iman dan sesama bangsa adalah saudara
se-bangsa. Dan lebih jauh lagi, Gus Dur berpendapat bahwa atas dasar QS
Al-Baqarah (2): 208, umat Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk
non-muslim. (Wahid; 2006)
Ke-empat, dewasa, yaitu sikap yang mengedepankan kebersamaan untuk kepentingan
bangsa meski dalam perbedaan. Dengan modal sikap dewasa dalam menyikapi
perbedaan maka akan menghasilkan sikap menerima perbedaan tanpa harus
mempermasalahkan, sehingga perbedaan hanya akan dianggap sebagai masalah kecil
di banding permasalahan kemanusiaan dan perdamaian sebagai permasalahan besar
bersama. (Wahid; 2006)
Hal di atas tentu tidak akan
terwujud tanpa adanya upaya untuk menyemai benih-benihnya. Belakangan sejak
tahun 2014 berbagai institusi pendidikan mulai merumuskan metode untuk
menanamkan nilai toleransi, meskipun fakta tentang konflik masyarakat di
sejumlah kasus masih saja terjadi. Seperti sebuah tebakan zaman, jauh sebelum
respon institusi pendidikan terhadap isu toleransi, Gus Dur sudah berasumsi
bahwa semua inti toleransi dapat dicapai dengan metode penerapan melalui
pendidikan, dan menurut asumsi penulis tataran aplikatifnya yaitu: pertama,
pendidik haruslah seorang yang memiliki paradigma pemahaman keberagaman yang
moderat serta kaya dengan berbagai refrensi pemikiran. Kedua, peserta
didik dengan pemahaman toleransi dan pemikiran moderat akan mampu terbentuk
sebagai manusia yang memahami perbedaan. Ketiga, materi toleransi
haruslah kaya dengan berbagai perspektif dan bermacam pendekatan. Ke-empat,
metode didik seyogianya dilandasi kondisi sosial yang majemuk dengan merangsang
nalar kritis, inovatif, kreatif, objektif, tetapi tidak lepas dari kebudayaan
lokal masyarakat dan perkembangan modernitas.
Meruwat NKRI
Melalui pendidikan toleransi
tersebut−yang dalam versi
Jaringan Gusdurian dikemas melalui Kelas Pemikiran Gus Dur−kerekatan bangsa akan terpatri secara masif
dan kesantunan interaksi antar umat akan terjaga. Indikasi perpecahan umat,
penistaan agama atau bentrok kelompok akan terbendung dengan mudah. Kekhawatiran
terkait propaganda ancaman keutuhan bangsa tak akan begitu menghantui dan
langkah-langkah produktif untuk bangsa akan lebih jelas.
Tetapi kita juga tak boleh
melupakan hakikat toleransi yang juga sebagai cermin berkaca pada diri sendiri.
Pada saat menilai perbedaan orang lain, maka kita harus menyadari perbedaan
diri kita pula dalam sudut pandang orang lain. Itulah mengapa toleransi juga
berkaitan erat dengan introspeksi diri. Dengan harapan bahwa toleransi dan
introspeksi akan meruwat NKRI.
Ruwat adalah suatu kondisi
yang terlepas dari keburukan yang akan menimpa dan pulih kembali pada keadaan
semula. Ruwat berkaitan erat dengan tradisi terhadap diri pribadi, lingkungan
sekitar dan lingkungan dalam arti luas yaitu alam semesta. Tradisi ini juga
adalah tradisi kuno nusantara yang dipergunakan masyarakat Jawa. Substansi
nilai dari ruwat adalah mawas diri, kesadaran dan kehormatan terhadap alam,
sehingga segala aspek perilaku akan lebih tertata kembali secara hati-hati.
Dalam hal meruwat NKRI,
nampaknya toleransi memiliki berkontribusi. Dengan tidak lupa bahwa
masing-masing punya narasi tentang toleransi dan masing-masing punya pendapat
yang saling mengisi. Sampai pada akhirnya akan saling memahami bahwa menolak
perpecahan adalah hal yang sangat inti. Setidaknya sebagai tindakan meruwat
diri pribadi atau juga keluhuran bangsa ini.
0 Response to "Toleransi dan Meruwat NKRI"
Post a Comment