Beragama secara Fitrah, Tauhid dan Hanif
Judul buku: Persaudaraan
Agama-agama Millah Ibrahim Dalam Tafsir Al-Mizan
Penulis: Waryono Abdul Ghafur
Cetakan I: November 2016
Penerbit: Mizan, Bandung
Tebal: 292 halaman
ISBN: 9786024410049
Tak
banyak karya hasil disertasi yang mampu meninggalkan nuansa kekakuan karya
ilmiah, tetapi Waryono Abdul Ghafur telah mampu melakukanya. Bukunya hadir
dengan keluesan beserta kecermatan dalam
menilik manuskrip yang tidak terlepas dari kesadaran kondisi zaman. Menembus
dinding-dinding pembatas antaragama—dari egoisme—adalah mungkin salah satu
tujuannya. Selain itu, bekal pengalaman pribadi yang tidak pernah tebang-pilih
dalam berelasi sosial, tampaknya, menjadi faktor pendukung utama.
***
Wacana-wacana
buku ini telah diawali dengan perhatian terhadap konflik agama, keresahan
sosial dan keberadaan klaim—dari masing-masing agama—sebagai ahli waris millah
Ibrahim. Di antara agama-agama yang dimaksud adalah Islam, Nasrani dan Yahudi. Meskipun,
pada kesempatan lain, dalam memaknai Ahli Kitab tidak terbatas Yahudi dan
Nasrani saja. Agama Asia termasuk Indonesia (indigenous religion) juga
dapat disandingkan.
Millah memiliki arti yang cukup beragam. Ada yang mengartikan
sebagai agama, ada pula yang memahami sebagai tradisi, bahkan ada pula yang
menyempitkan lagi sebagai syariat. Namun, berdasarkan buku ini, saya pribadi
menangkap bahwa millah diartikan sebagai nilai perjuangan. Singkatnya, millah
Ibrahim adalah nilai-nilai yang telah diperjuangkan Ibrahim.
Konsekuensi
dari sikap mengklaim sebagai ahli waris millah Ibrahim berarti
mempraktikkan dan mengikuti langkah-langkahnya dalam keimanan sekaligus praktik
empiriknya. Pada akhirnya, pengikut millah Ibrahim bukan saja sama dengan
Ibrahim dalam nilai teologis, tetapi seharusnya juga dalam nilai etis. Waryono
telah membedah tafsir tentang hal itu dalam bukunya di bagian bab 2 dengan
beberapa nilai kandungan.
Saya
menangkap nilai perjuangan tersebut menjadi beberapa. Di antaranya, pertama adalah
fitrah. Dengan pemahaman bahwa agama ditempatkan oleh millah Ibrahim
sebagai suatu yang sudah tertanam di dalam diri manusia sejak awal menjadi
manusia. Dalam kalimat yang lain, agama sejalan dengan naluri manusia. Tidak ada
unsur rekayasa atau pemaksaan.
Kedua
adalah tauhid, dimaknai dengan sikap menekankan totalitas iman yang didasari
dengan sikap ketundukan dan penerimaan terhadap segala bentuk kebenaran. Juga memaknai
Islam sebagai sikap kepasrahan total dalam menerima dan menjalankan semua
perintah Allah tanpa ada keraguan atau ketidaktulusan.
Ketiga
adalah hanif, ini merupakan sikap yang lurus, jujur dan cenderung ke arah kebenaran
yang telah menjadi karakter kehidupan. Lebih jauh lagi dapat dipahami sebagai
sikap kesalehan sosial yang menolak terhadap pengingkaran kebenaran atau tidak
memuliakan sesama manusia. Dengan kata lain, hanif bisa dipahami sebagai lawan
dari sikap membangkang dan tak beradab.
Buku
ini menempatkan Islam, Nasrani dan Yahudi sebagai saudara genealogis. Di mana
garis keturunan Muhammad Saw, Iskhaq as, dan Isa as akan bertemu kepada Ibrahim
as. Namun, lebih dalam lagi, berdasarkan nilai-nilai perjuangan, millah
Ibrahim dimaknai dalam satu sisi bersifat terbuka atas berbagai keyakinan dan
praktik keagamaan yang selaras dengan pengertian tersebut meski tidak bermuara kepada
Ibrahim. Di sisi lain, bersifat tertutup atas iman dan praktik keagamaan yang
tidak selaras walaupun memiliki faktor genetis dengan Ibrahim.
Menariknya,
buku ini menjadikan millah Ibrahim sebagai paradigma untuk memahami
ayat-ayat tertentu Alquran. Misalnya, potongan ayat inna al-dina ‘inda Allah
al-islam menghasilkan pemahaman inklusif. Mengkaitkan ayat tersebut dengan
ideal moral yang ternyata didapat dari millah Ibrahim. Yang aspeknya
dinilai dari sikap hanif dan akhlak yang baik.
Dengan
kalimat lain, keberadaan seorang muslim yang tidak memiliki kesalehan sosial
dapat diragukan sebagai ahli waris millah Ibrahim. Sebaliknya, seorang
yang bukan muslim namun memiliki kesalehan sosial tidak menutup kemungkinan
bahwa dia adalah penerus millah Ibrahim.
Pada
akhirnya, millah Ibrahim hadir sebagai pradigma untuk introspeksi diri
dalam beragama dan mengajak persaudaraan agama dalam bingkai nilai etisnya.
Adapun berkaitan dengan teologis, nasihat surat Al-Kafirun “lakum diinukum
waliadiin” adalah menjadi jawaban dalam buku ini.
Tampaknya,
kalimat “tidak ada perdamaian antara bangsa-bangsa tanpa ada perdamaian agama,
tidak ada perdamaian agama tanpa dialog dan tidak ada dialog tanpa
invenstigasi” adalah hal yang relevan.
Namun,
buku ini belum terlalu tegas menyebutkan batasan-batasan dalam persaudaraan
agama. Misalnya, berkaitan dengan alasan persamaan ataukah perbedaan yang bagaimana
yang dapat mewujudkan platform persaudaraan dengan dasar kejujuran dan
kepercayaan.
Perihal
metodologi tafsir, buku ini telah menggunakan dua pendekatan, yaitu tematik term
dan tematik tokoh. Tematik term dengan menelisik dan mensortir term
“millah” untuk memahami maksudnya. Selanjutnya, tematik tokoh dengan
mengambil bahan-bahan yang berkaitan dengan kisah Ibrahim sebagai figur dan
Thabathaba’i sebagai ahli tafsir atau penulis tafsir Al-Mizan.
***
Apa
yang disajikan sepanjang buku ini tidak hanya menginspirasi gerak umat beragama.
Tapi, juga menyadarkan tentang pentingnya kesalehan sosial dan introspeksi diri
dalam beragama. Walhasil, inilah karya tentang persaudaraan agama-agama yang, bagi
saya, penting untuk dibaca dan dikaji demi kepentingan akademis dalam ruang
pemikiran tafsir Alquran serta pemikiran umat beragama.
Mu’adil Faizin, Gusdurian Jogja, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Terbit Di Jawa Pos, 11 Desember 2016
0 Response to "Beragama secara Fitrah, Tauhid dan Hanif"
Post a Comment