Poligami Darurat Sosial Atau Individual ?
Terkadang
tuduhan congkak sukar ditepis bagi kalangan yang sering mencibir pemahaman tekstual atau literal. Bahkan
sebagian akan menuduhnya sebagai tindakan liberal, lengkap dengan asumsi bahwa
mereka terlampau jauh melewati koridor-koridor syariah. Padahal dengan adanya kritik
terhadap pemahaman tekstual, sebenarnya ada dorongan untuk lebih arif dalam memahami
sebuah ilmu. Sebagai contohnya ayat-ayat poligami.
Sudah
lama penulis ingin mengurai kata tentang poligami—yang harapannya dalam bentuk
ilmiah—namun mengingat permintaan kolega dan kejadian belakangan yang cukup menyita
perhatian, rasa-rasanya perlu membahas ini lebih awal. Barangkali saja menjadi
ilmu yang bermanfaat atau memancing akademisi untuk mengkaji kembali tema ini.
Urgensi
Kronologis Al-Quran
Perlu
diyakini bahwa tujuan langsung Al-Quran dari pengamatan reflektif terhadap Alam
ini adalah membangkitkan kesadaran manusia dalam realitas yang harus
direnungkan. Tidak heran jika Al-Quran
diturunkan secara berangsur-angsur, sebab dengan begitu umat Islam generasi
awal akan memahaminya dengan penuh kesadaran akan permasalahan dan inti falsafah
syariahnya.
Kaitannya
dengan konteks internal atau eksternal ayat, kesemuanya diajarkan secara
berangsur-angsur. Dalam kata
lain, Al-Quran diturunkan secara bertahap dengan tujuan agar ajaran-ajarannya datang sesuai peristiwa yang benar-benar
terjadi di dunia sehingga dapat dihafal, dipahami serta memperkuat keimanan dan menambah ketakwaan
(Al-Insan ayat 23-24). Proses ini pula yang kemungkinan besar melahirkan generasi awal
Islam sebagai generasi terbaik.
Menariknya
metode mengajarkan ayat Al-Quran sekarang sedikit berbeda dengan periode awal
Islam, kebanyakan menyajikan secara tematik dan jarang memaparkan secara
kronologis. Ada beberapa menyertainya dengan asbab an-nuzul tetapi terkadang
ada pula yang tidak. Sehingga wajar pemahamannya tidak sebaik generasi awal
Islam.
Al-Quran
adalah kitab yang sulit dipahami, karenanya tanpa ilmu dan pijakan maka kepahaman yang
menerka-nerka akan menjadi hal yang dua kali lipat lebih berkesempatan celaka,
dibanding mereka yang sembarang bertindak dengan tidak mengatasnamakan agama.
Sudah sepantasnya bulu kuduk manusia bergidik, ketika bertindak se-enak jidatnya
dengan membawa-bawa ayat Al-Quran yang tidak secara hati-hati dipahaminya.
Sebab, selain manusia lain akan ikut-ikutan, tentu saja murka pemilik Al-Quran
sudah menantinya. Dari poin inilah, tampaknya penting mencontoh kembali generasi
awal Islam dalam memahami Al-Quran yang sesuai kronologis.
Kronologis
Ayat Poligami
Di
Era pra-Islam, praktik poligami sudah lazim dilakukan oleh hampir seluruh
golongan manusia, sebagai contohnya; Abbesinia, Afrika, Asyiria,
Australia, Babilonia, Cina, India, Medes, Mesir, Persia, Yunani dan Mormon di Amerika.
Praktek poligami bahkan dilakukan secara bebas dan tidak ada pembatasan jumlah
perempuan yang boleh diperistri. Dalam konteks inilah Islam datang memberikan
landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta membatasi keburukan yang
terdapat pada masyarakat yang melaksanakan poligami. Semakin jelas bahwa muara syariah
adalah pemeliharaan hak–hak wanita dan menjaga kemuliaan mereka yang dulu
terabaikan, karena poligami yang tanpa ikatan atau persyaratan tertentu.
Ayat-ayat
poligami dalam susunan sesuai kronologis dan munasabah adalah An-Nisa 1-4
dan 127-130. Beberapa poinnya yaitu pertama, ayat 1 berbicara tentang
penciptaan laki-laki dan perempuan dari sumber yang sama. Menyiratkan falsafah
kesetaraan antara kaum Adam dan Hawa. Ayat 2 berisi perintah kepada umat Islam
supaya memberi harta anak yatim yang menjadi hak warisannya dan tidak
menyalahgunakan atau mengganggunya demi kepentingan wali. Ayat 3 peringatan
Allah SWT bagi lelaki yang khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim,
maka alternatifnya adalah menikahi perempuan yang selain memiliki anak yatim
atau bahkan satu istri saja. Jelas yang dimaksud adalah peringatan untuk
menghindari kezhaliman berupa penguasaan harta milik anak yatim dan tindakan
yang tidak adil. Sampai di sini, terlihat bahwa poligami adalah bukan tentang
pemenuhan nafsu seksual, melainkan kepada menegakkan keadilan bagi anak yatim. Ayat
4 memerintahkan untuk memberikan mahar kepada wanita yang dinikahi sebagai pemberiah
dengan penuh kerelaan. Perlu diperhatikan bahwa fenomena laki-laki menikahi
anak perempuan yatim tanpa mahar yang diberikan kepadanya sempat terjadi di era
awal Islam.
Kedua, ayat 127 ditegaskan kembali perintah memelihara anak
yatim dan berlaku adil kepadanya. Ayat 128 peringatan bagi suami untuk berlaku
baik kepada istrinya. Ayat 129 pemberitahuan bahwa suami pada dasarnya tidak
dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, sehingga diperingatkan kembali untuk tidak
cenderung dengan yang lain dan mengabaikan yang lain. Bahkan dalam hadist
riwayat Ahmad, suami yang bersikap seperti itu dikisahkan akan datang pada hari
kiamat dengan menyeret salah satu betisnya karena lumpuh atau dalam keadaan
miring atau pincang. Betapa kisah itu menyiratkan ketidakridhaan Allah SWT
terhadap sikap suami semacam itu. Memahami hal ini, sewajarnya bagi suami yang
berhati-hati sudah tentu tidak akan berani melakukan poligami.
Melihat
lebih dalam lagi, jumhur ulama sepakat bahwa An-Nisa ayat 3 turun setelah
perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi syuhada’
dengan meninggalkan anak yatim dan janda. Konsekuensi dari hal itu, kehidupan
mereka—anak yatim dan janda—menjadi terbengkalai dan tak terdidik. Sehingga fenomena
sosial tersebut menjadi konteks eksternal bagi An-Nisa ayat 3. Adapun menurut
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ath-Thabari dan Al-Jasshas spesifikasi asbab
an-nuzulnya adalah nasib anak yatim yang khawatir tidak diperlakukan adil.
Surat An-Nisa seluruhnya masuk dalam periode madaniyah, dengan kata lain ayat 4
dan seterusnya merupakan ayat yang turun setelah perang Uhud juga.
Pada
giliranya, ayat-ayat poligami lebih ditujukan sebagai solusi dari darurat
sosial. Ketika melonjaknya angka anak yatim yang tak terdidik dan janda yang
tak terurus paska perang Uhud. Kondisi tersebut kemudian dikonfirmasi Al-Quran
dengan arahan yang sangat gamblang mengenai falsafah keadilan. Dengan turunnya
ayat poligami, darurat sosial bagi negara Madinah mendapati solusi yang tepat
guna dan budaya poligami yang sudah subur menjadi terkontrol.
Atas
dasar pemahaman di atas, penulis bertanya-tanya apakah masih relevan menilai
poligami sebagai solusi darurat inividual? Penulis tidak bermaksud menyinggung
atau mengatakan mereka yang menggemari poligami adalah tidak lebih dari orang
yang memiliki kebutuhan nafsu di atas batas laki-laki biasa, tidak pula
menganggap mereka tidak puas atas yang dimiliki Istri pertama, apalagi
menganggap mereka menggunakan teks agama demi kepentingan perut dan sekitarnya.
Penulis hanya ingin merefleksi ilmu yang selama ini didapat dan berbagi kepada
sesama dengan harapan mendapat amal jariyah kebermanfaatan. Wallahu a’lam
bisshawab
0 Response to "Poligami Darurat Sosial Atau Individual ?"
Post a Comment