Demokrasi yang Rancu
Beberapa pekan
terakhir, perhatian opini publik dan media massa terfokuskan pada serentetan
sidang legislatif, banyak diantaranya menganggap sidang tersebut yang terkait
dengan pengesahan RUU Pilkada, pemilihan Ketua DPR RI, dan Ketua MPR RI belakangan
ini adalah runtutan visualisasi persaingan antar koalisi.
Tudingan terhadap
beberapa fraksi dalam salah satu koalisi parlemen tentang sikap mematikan gerak
demokrasi, degadrasi kedaulatan, hingga pengkebirian hak demokrasi rakyat dan
lain sebagainya, itu juga nampaknya sebagai bumbu penyedap terhadap rangkaian
persidangan tersebut. Betapa tidak, hal ini semakin berkecamuk ketika
dipenghujungnya adalah mengkaitkan kekalahan KIH (Koalisi Indonesia Hebat)
sebagai pemenang pemilu vs KMP (Koalisi Merah Putih) sebagai oposan yang di luar kebiasaan, bahkan
tidak logis menurut pendapat Puan Maharani dalam satu kesempatan. Putri dari
Ketua Umum PDIP tersebut justru mengeluh karena partai pemenang tidak menduduki
kursi pimpinan DPR RI. Ini terlihat agak sedikit naif fan ada bumbu sentimentil
yang merebak dari pendukung KIH terhadap KMP dalam menyikapi beberapa
persidangan terakhir. Sampai beberapa pakar juga mengkaitkan semuanya pada
semangat pendahulu terkait dengan demokrasi yang tertuang pada “amandemen UUD
1945”.
Nostalgia Amandemen UUD 1945
Bernostalgia
pada sistem pemerintahan sebelum amandemen UUD 1945, kita tahu bahwa Indonesia
menganut sistem konstitusional, MPR merupakan pemegang kekuasaan negara
tertinggi. Namun presiden sebagai executive
heavy, yakni kekuasaan dominan berada di tangan presiden dilengkapi dengan
berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain
memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi), serta presiden memiliki kekuasaan
legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Sampai pada
kewenangan kepada kekuasaan presiden untuk mengatur hal-hal penting sesuai
kehendaknya dengan undang-undang.
Untuk menghadapi
permasalahan tersebut maka diadakanlah amandemen UUD 1945 yang sudah berlangsung
empat kali yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, tidaklain dengan tujuan mengamankan
masing-masing lembaga tinggi negara untuk terhindar dari kekuasaan yang
terpusat menganut teori Trias Politica
sebagai pemisahan kekuasaan (the
separation power), dan memfungsikan kaidah check and balance antara lembaga negara.
Setelah
berlangsungnya amandemen, MPR bukanlah lembaga tertinggi negara, melainkan
sebagai lembaga tinggi negara yang di dalamnya terdiri dari anggota DPR dan
DPD. DPR mempunyai kewenangan membentuk undang-undang (pasal 20 ayat 1).
Sementara pemerintah hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang (pasal
21). Terjadi pula perubahan dalam proses mekanisme pembentukan undang-undang
antara DPR dan pemerintah (pasal 20 ayat 2, 3, 4 dan 5). Berdasarkan perubahan
UUD 1945 setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh DPR dan presiden
untuk mendapat persetujuan bersama, tidak dapat diajukan lagi pada masa
persidangan itu. Ini mempertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislatif, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara
(pasal 20A ayat 1). DPR juga memiliki fungsi pertimbangan atas pemberian
amnesti dan abolisi oleh presiden.
Interprestasi Oposan
Desember
mendatang kita akan disuguhi hasil dari pengkajian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada) serta Perppu No. 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu
Pemda). Dimana Perppu No. 1 Tahun 2014 menolak berlakunya UU No. 22 Tahun 2014
tentang Pilkada, yang mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD, dan
Perppu No. 2 Tahun 2014 menolak berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
yang memberi kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah.
Menyikapi
beberapa hal di atas, kita perlu mengkaji fungsi oposan yang sesungguhnya agar kita terhindar dari kepentingan
sentimentil para elit, agar kita juga dapat berpikir objektif dalam melihat
fenomena parlemen yang akan berlangsung. Dengan memahami tujuan amandemen UUD
1945 kita akan mengetahui bahwa sangat wajar ketika posisi anggota legislatif
tidak antikritis terhadap eksekutif, sebaliknya akan sangat tidak stabil ketika
posisi legislatif adalah posisi suara pesanan dari eksekutif, dengan kata lain
semua sikap eksekutif akan disetujui oleh legislatif. Jika itu terjadi, bisa
dikatakan proses filtrasi dan akomodasi pendapat tidaklah berjalan.
Maka mekanisme
oposisi bukanlah yang berdosa dan patut dipersalahkan atas nama rakyat, justru
itu adalah upaya untuk menyerap semua aspirasi rakyat untuk tidak antikritis
terhadap pemerintahan. Legislatif menjadi wadah atau kawah candradimuka untuk
menggodok semua rancangan eksekutif secara objektif dan komprhensif.
Sehingga partai pemerintahan atau
partai oposan (partai berposisi
oposisi) adalah hal yang lazim adanya, bukan merupakan perpecahan demokrasi
atau perpecahan parlemen. Karena itu adalah wujud kemajemukan pendapat parlemen
yang akan mengakomodasi nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Kita pula akan
paham sejatinya posisi antara KIH dan KMP itu bukanlah lawan seperti halnya
peperangan, mereka adalah patner pemerintahan atau koalisi yang dibentuk dengan
tujuan saling menyeimbangkan perjalanan pemerintahan Negara Indonesia baik dari
sudut pandang demokrasi atau sistem pemerintahan. Sebagai koalisi yang memegang
eksekutif, tidaklah salah ketika lebih sedikit akumulasi mata pilihnya dalam legeslatif
dibandingkan dengan koalisi oposan.
Karena hal ini justru akan menciptakan pemerintahan yang tidak kebal kritik dan
mengkuatkan fungsi check and balance
sebagai tujuan institusi-institusi ketatanegaraan berdasarkan amandemen UUD
1945.
Indonesia menganut sistem Presidensial
khas bagi bangsa Indonesia yang mengacu pada UUD 1945. Sehingga tidak ada
kekuatan dominan berada di tangan eksekutif (presiden), dimana kepala negara
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Semua lembaga bisa saling mengawasi dan
salah satu upayanya adalah terdapatnya mekanisme oposisi dalam pemerintahan.
0 Response to "Demokrasi yang Rancu"
Post a Comment