Politik Dualisme (PD) = Politik Ghost (PG)
Suhu
perpolitikan Indonesia mulai memanas kembali, setelah sempat alot dalam sidang
paripurna hingga mencapai ishlah yang menghasilkan kesepakatan revisi UU MD3,
dan beberapa perubahan komposisi struktur Komisi legislatif. Namun sekarang
dinamika politik terjadi lagi, dan lagi-lagi sarat akan transaksi.
Banyak yang
menilai bahwa suhu panas tersebut semakin meningkat, akibat dipicu oleh keputusan
yang dianggap kontroversial dari Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie atau
Ical dalam Munas Partai Golkar di Bali beberapa waktu lalu, dia memberikan arahan
agar anggota fraksi partainya di DPR menolak Perppu Pilkada Langsung
yang diterbitkan SBY saat masih menjabat Presiden.
Langkah Ical ini diniali membuat
sejumlah parpol meradang. Sebelumnya, SBY mengatakan, Perppu Pilkada itu telah
disetujui bersama 5 parpol lainnya. Karena itulah, menurut Ketua Partai
Demokrat tersebut, langkah politik Partai Golkar kini menuai kecaman. Partai
Golkar dinilai menciderai kesepakatan yang dibangun Demokrat dengan Koalisi
Merah Putih (KMP).
Isu yang berkembang baru-baru ini
adalah Partai Demokrat kecewa dengan sikap Partai Golkar yang kini berbalik
menolak Perppu Pilkada. Agar perppu yang diterbitkan mantan Presiden SBY itu
disahkan, Fraksi Demokrat di DPR pun diperintahkan untuk mendekati Fraksi PDIP
dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Mulai merapatnya suara Partai Demokrat ke
kubu PDIP terkait revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (UU MD3), dinilai sebagai suatu langkah yang baik bagi hubungan
kedua parpol.
Sementara itu, Politikus
Partai Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa, menganggap kekecewaan Presiden keenam,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap Partai Golkar terkait penolakan Perpu
Pilkada tidak tepat. Desmond menilai tak ada yang salah dengan Partai Golkar
dalam menyikapi Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). "Tidak ada yang salah. SBY pun selama ini tidak tegas
dalam berpolitik," kata Desmond saat dihubungi Tempo, Jumat, 5 Desember
2014. Menurut Desmond, yang seharusnya menjadi masalah adalah sikap SBY
sendiri. Desmond menjelaskan, SBY-lah yang pertama kali menggagas pilkada tak
langsung dalam RUU Pilkada yang diajukan pemerintahannya ke DPR.
Namun, saat
anggota DPR mendukungnya, SBY justru berbalik arah menolak pilkada tak
langsung. "Selama ini dia (SBY) pakai politik dua kaki, cari amannya saja.
Dia hanya mengejar popularitas," ujarnya.
Pada akhirnya politik menghalalkan
segala cara, seakan-akan telah menjadi sebuah kelaziman. Pada era demokrasi
liberal ini sebagian para politikus, telah terperangkap pada cara-cara
pragmatis. Nasib demokrasi kita pada gilirannya hanya menjadi sarana
formalisasi kekuasaan rezim yang sama, kendati yang menjadi figur pemimpinnya sudah
berubah. Akan tetapi transformasi kekuasaan pada akhirnya hanya menjadi urusan
segelintir elite politik. Oleh sebab itu, tampak saling menuding kesalahan
antar parpol semakin lazim terjadi.
Bahkan fenomena kontroversial Golkar
pun tidak cukup hanya pada arahan Ical menolak Perppu Pilkada, namun juga
dualisme yang terjadi dalam batang tubuh partai tersebut. Hal ini terlihat pada
fakta terjadinya dua kali Munas Golkar, kubu pertama adalah Munas Bali yang
menghasilkan Ical sebagai Ketua Umum Golkar versi KMP dan di kubu kedua adalah Munas
Ancol yang menghasilkan Agung sebagai Ketua Umum Partai Golkar versi KIH.
Perihal dualisme partai tersebut
nampaknya hampir menjadi trend parpol periode ini, betapa tidak hal ini
terlihat dari sejak beberapa bulan yang lalu PPP mengalami gejolak dualisme
yang serupa, bahkan jauh sebelumnya juga Partai Demokrat mengalami kisruh dualisme
sekaligus saling sandra kasus berdampak mengharuskan SBY yang pada waktu itu
menjadi President merangkap Ketua Badan Penasehat PD untuk turun gunung menjadi
ketua partai kembali, dan sekarang terjadi pada Golkar fenomena dualisme
tersebut. Hampir memberi penilaian pada publik bahwa partai memang tak ada yang
namanya persaudaraan karena boleh jadi paginya kawan siangnya menjadi lawan.
Melihat semua fenomena tersebut,
memberi sebuah kesimpulan bahwa politik tidak akan dapat melepaskan diri dari
kepentingan kekuasaan (power) dan
pengaruh (influence), kedua hal
tersebut adalah perihal utama. Sedangkan, ketaatan atau ketertiban justru agak terkesampingkan.
Oleh sebab itu tak jarang sebagian saling bermain dua kaki, saling memvonis
menghianati, hingga berujung publik tak mengerti mana fakta lalu mana yang
hanya anulir belaka.
Padahal seyogyanya politik yang
ideal itu berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu kekuasaan (power), kewenangan (authority), dan ketaatan atau ketertiban (order). Implikasinya dari kelengkapan tiga hal tersebut adalah
politik menjadi suatu cara untuk membangun tujuan bersama tanpa mengesampingkan
perbedaan pendapat, akan tetapi saling melengkapi dan memiliki asas perjanjian
yang harus saling dijaga, saling dipercayai dan saling diikuti.
Politik untuk dapat saling percaya,
memiliki perjanjian yang harus dijaga serta mendapati titik temu dalam
mengkonsolidasikan tujuan, haruslah disertai dengan adanya komunikasi politik yang
baik. Baik itu komunikasi politik antar politikus ataupun kepada khalayak. Prof.
Dr. Walter Hegeman menganggap komunikasi politik adalah hal yang sangat penting
dalam mengiringi perpolitikan. Setiap pernyataan politik akan menghasilkan
suatu hubungan antara si publisis dengan khalayak.
Beliau membagi komunikasi politik
menjadi tiga bagian, yaitu; Des Ereignis, Der Empfanger, dan Die Wirkung. Pertama, Des
Ereignis: proses kegiatan seorang publisis, mulai dari peliputan suatu
persitiwa, pengolahan, dan penyebaran. Akan terjadi peristiwa lahir sebagai
kejadian-kejadian yang ditangkap oleh indra, hingga peristiwa batin yang ditangkap
psikologis akibat melihat peristiwa lahir tersebut. Kedua, Der Empfanger: orang-orang atau khalayak yang menerima informasi
yang disebarkan. Berita didapat dari khalayak atau masyarakat, dan disebarkan
lagi pada dan oleh mereka. Ketiga, Die
Wirkung: sejauh mana efek yang timbul dari persebaran informasi dan opini
yang disampaikan pada masyarakat. Di sini, akan tercipta opini publik akibat
informasi yang disebarkan, ada yang memberi tanggapan penghargaan dan ada yang
kekecewaan.
Dalam proses komunikasi politik bagian
Die Wirkung (daya pengaruh) haruslah
menjadi bagian yang sangat diperhatikan. Apakah publik setelah mendengar berita
tersebut merasa senang lalu memberi penghargaan, ataukah benci lalu kecewa
ataukah bimbang dan bingung untuk percaya kepada pihak yang mana.
Dalam hal ini penulis menilai bahwa kaum
elit haruslah saling menjaga dalam melontarkan statmen-statmen politiknya,
jangan hanya memprioritaskan kepentingan kelompok hingga berani memberikan
ungkapan yang dapat memperkeruh keadaan. Lebihbaik pertimbangkan Die Wirkung publik terhadap ungkapan
tersebut, oleh sebab kepercayaan publik adalah keutamaan kedaulatan maka
menjaga kepercayaan dari bumbu kebingungan adalah kewajiban para punggawa
kedaulatan.
0 Response to "Politik Dualisme (PD) = Politik Ghost (PG)"
Post a Comment