Kontekstual Tritura: Kenapa Dilupakan?
Tepat hari ini 47 tahun waktu bergulir, lalu catatan dan ingatan apa yang tersisa
tentang Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) ? Tuntutan yang dicetuskan oleh mahasiswa
dengan latar belakang timbulnya krisis kepemimpinan nasional yang berdampak
buruk terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, akibat pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30
September 1965. Kondisi yang
menjadi pemicu munculnya vibrasi ketidakpercayaan masyarakat, terutama gerakan-gerakan
mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan Presiden Ir. Soekarno
dalam menangani persoalan-persoalan politik, keamanan dan ekonomi.
Saat itu menjelang akhir tahun 1965
pemerintah membuat kebijakan mendevaluasikan Rupiah dan menaikkan harga minyak
bumi. Kebijakan tersebut menyulut demontrasi besar-besaran dikalangan
mahasiswa. Pada tanggal 10 Januari 1966 Mahasiswa melancarkan tuntutan yang
dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) meliputi: 1) Pembubaran
Partai Komunis Indonesia(PKI); 2) Retooling Kabinet; 3) Penurunan
Harga/Perbaikan Ekonomi.
Namun setelah tahun 1998, pergerakan mahasiswa 1966 dan penamaan Angkatan 1966, bahkan seakan berada
pada titik nadir karena eksistensi psikologisnya senantiasa disejajarkan dengan
kekuasaan Soeharto. Bangun dan kemudian jatuhnya Soeharto serta Orde Baru untuk
beberapa lama memang selalu dikaitkan dengan Angkatan 1966 atau pergerakan
tahun 1966. Kendati, dalam perjalanan sejarah politik sejak 1966 hingga 32
tahun kemudian sesungguhnya terdapat begitu banyak garis patah dalam hubungan
rezim Soeharto dengan sejumlah eksponen pergerakan 1966, perorangan maupun
kelompok, melalui berbagai peristiwa. Dalam penggambaran yang lain, disebutkan
bahwa apa yang pernah disebut Angkatan 1966 praktis sudah dilupakan orang. Konsep Tritura yang dikumandangkan 10 Januari 1966 oleh barisan mahasiswa
kala itu, mulai terlupakan, dan mungkin hanya tersisa keberadaanya pada satu
sudut kecil ingatan publik. Atau hanya pada pelaku sejarah dan orang-orang yang
memiliki ikatan emosional dengan momen tersebut, mengingat cetusan spontan Tritura berhasil mewakili
sikap dan hati nurani rakyat terhadap tekanan situasi aktual yang timbul dari
kegagalan menjalankan politik dan kekuasaan kala itu.
Mengingat Jejak
Tritura
Dalam catatan sejarah, Tritura pada
permukaan secara formal memang telah tuntas terjawab dan terpenuhi. Namun pada substansi
peradabanya Tritura belum juga mendapat jawaban dan pemenuhan tuntas. PKI
dibubarkan secara resmi 12 Maret 1966 dan kemudian terdapat sejumlah
penyelesaian hukum ala militer.
Pembubaran PKI secara formal telah dilakukan, namun tidak disertai dengan
penyelesaian politik hukum dan sosiologis yang wajar. Ditandai dengan adanya
penyelesaian melalui jalur kekerasan massal yang menyisakan kontroversi
penilaian hingga hari ini, karena adanya pengkategorian sebagai kejahatan atas
kemanusiaan dan bukan sekedar konflik sosial horizontal. Lebih dari itu,
pembubaran PKI ternyata tidak berarti berakhirnya cara berpolitik dengan
ideologi dan paham otoriter yang ditandai dengan perilaku haus kekuasaan secara
berlebihan, yang sampai sekarang justru kerap ditampilkan oleh mereka yang
menyebut diri anti komunis. Persoalan kepemerintahan tak juga
sepenuhnya berhasil diperbaharui, sebagaimana pula ketidakberhasilan memperbaiki kehidupan berparlemen dan
berdemokrasi hingga pada tingkat yang signifikan. Harga-harga tak dapat
diturunkan seketika dengan perintah kekuasaan, melainkan hanya melalui
tindakan-tindakan perbaikan ekonomi yang tepat.
Mengingat penyulut pamungkas Tritura
adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga minyak bumi, sungguh ironis kita
pada hari ini. Tanggal dan bulan yang sama dimana 47 tahun yang lalu gerakan
mahasiswa turun mencetuskan Tritura, namun akankah keadaan yang juga sama?
Harga Hari Ini
PT Pertamina (Persero) beberapa hari yang lalu telah merevisi
harga gas Elpiji non-subsidi 12
kilogram (kg) sebesar Rp1.000 per kg. Kenaikan harga Elpiji 12 kg non -subsidi rata-rata
Rp14.200 per tabung. Dengan demikian harga per tabung Elpiji non-subsidi 12 kg di tingkat agen
menjadi berkisar antara Rp89.000 hingga Rp120.100 per tabung. Harga ini, sudah
termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), transpor fee dan filling fee SPPBE,
serta margin agen seperti yang dikutip dalam situs resmi Pertamina.(8/1/2014). Untuk daerah Lampung
sendiri Rp88.900 per tabung. Naiknya harga elpiji disinyalir sebagai solusi
atas kerugian yang bernilai 7 Triliun oleh Pertamina.
Logika hukum dalam pengambilan putusan,
sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segala kegiatan dan keputusan Pertamina
seharusnya diketahui pemerintah.
Jika Presiden dan Menko Perekonomian mengatakan naiknya harga Elpiji 12 Kg
sebagai aksi korporasi Pertamina, ini bisa dianggap kurang tepat. Proses
tersebut tentu harus sesuai aturan yang berlaku, yaitu pasal 25 Peraturan
Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji.
Jika sesuai dengan aturan tersebut, maka
bisa dipastikan akan ada proses koordinasi antara PT Pertamina (Persero), Menteri
BUMN Dahlan Iskan, dengan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa dan konsultasi
bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Jika kenaikan harga tersebut
benar-benar terjadi, tentu akan memberi efek domino kepada masyarakat umum yang
sudah terbiasa menggunakan gas Elpiji dalam keseharianya. Bagi masyarakat ini
ironis, sebab belum lama pemerintah menaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak
Bumi) yang dampaknyapun belum juga selesai diatasi sampai sekarang khususnya
dalam kacamata ekonomi, namun sekarang masyarakat sudah dihantam oleh kebijakan
Elpiji. Kenaikan harga yang lain akan segera menyusul setelahnya.
Tool Of Social
Engineering Untuk Kebijakan
Keberadaan negara sebagai pelembagaan
politik dari masyarakat harus dapat memahami bahwa pasar merupakan bentuk
pelembagaan yang instrumental dari perekonomian masyarakat. Keputusan politis
yang dihasilkan oleh negara tidak bisa saling lepas yang seyogyanya berfungsi
sebagai penguat masyarakat. Maka dalam menyikapi permasalahan harga Elpiji
perlu adanya beberapa yang harus dilakukan menghindari disorentasi kebijakan;
pertama, pemerintah perlu mengingat kembali kejadian besar Tritura dan
latar belakang kebijakanya, yang sebenarnya hampir dapat dikatakan mirip dengan
kebijakan yang baru saja pemerintah keluarkan. Kedua, perlunya penerapan
konsep pembangunan hukum ‘law is a tool of social engineering’, yang
memiliki arti bahwa setiap kebijakan yang akan dieksekusi pemerintah haruslah
dapat mengontrol kehidupan sosial masyarakat. Bukan yang memberi tekanan dan
pancingan agar masyarakat memberi perlawanan, konsep itu lebih cenderung
menganggap pemerintah adalah patner masyarakat yang harus melayani dalam
kebijakanya. Ketiga, masyarakat perlu mempertanyai dan mengkaji setiap
kebijakan dalam hal ini, kenaikan harga Elpiji sebelum memberi prasangka apapun
terhadap pemerintah.
0 Response to "Kontekstual Tritura: Kenapa Dilupakan?"
Post a Comment